Sepupuku akan menikah bulan Juni ini. Aku makin kepikiran dengan topik pernikahan dan kabar ini. Mengingat dua tahun terakhir aku mengusahakan seseorang yang aku suka dan nyatanya tidak berhasil.

Dua tahun, tiga buku harian aku awali dengan dearhal. Dear, Hal. Banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadanya. Bagaimana usahaku untuk melipat jarak. Banyak hal yang telah aku upayakan bahwa aku cukup layak. Orang yang aku usahakan di langit dan di bumi.

Bulan Oktober tahun lalu jawabannya. Tidak. Dia sudah memiliki calon. Aku pun mundur teratur dan menghapus semua hal yang membuatku berdebar lagi karenanya. Perasaan suka ini ternyata bisa dikendalikan. Aku bisa lebih cepat untuk tidak suka lagi dengannya. Namun, perasaan patah hati dan gagal mengenai percintaan membuat aku merinding. Bagaimana kalau gagal lagi!

Bagaimana jika hambatan yang sama terulang lagi? Aku merasa cocok, orang tua tidak? Orang tua, aku ngga? Kita oke, orang tuanya yang nggak. Aku selama beberapa tahun ini kayaknya males banget berurusan tantangan menemukan jodoh. Kayak, kalo bisa dihindari aja gitu. Soalnya ribet banget, kan? Tapi mau sampai kapan? Mau sampai kapan dihindari terus? Masa maunya milih tantangan yang dimau aja ya kan ya? Sampai kapan mau menghindari topik pernikahan dengan kompleksitasnya?

Di satu sisi, aku paham betul bahwa aku termasuk yang diwajibkan menikah oleh agamaku. Pertama, aku cukup dewasa dan stabil secara ekonom dan siap juga. Cuman aku masih ragu kalo secara mental. Tapi mau ditanya kapan siap mentalnya juga ga bisa jawab.

Aku belum siap untuk menerima peluang gagal lagi dalam hubungan manusia. Aku percayakan semua hal yang tidak mungkin kepada Allah, termasuk dirinya. Aku tau dari awal bahwa ini mustahil. Tapi aku tetap berusaha mendapatkannya, laki-laki yang sepertinya akan dengan mudahnya mendapat restu Ibu dan Bapak, dan juga memiliki hobi yang sama denganku.

Tapi ternyata usaha tidak selamanya akan memperoleh jawaban yang kita inginkan. Sekeras apapun usaha itu. Seberapa lamapun kita berdoa, memohon, bahkan memaksa Allah.

Aku kadang memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan tiga buku harian itu. Yang pemeran utamanya bahkan bukan aku. Di duniaku saat itu, bagaimana sebisa mungkin aku menarik perhatianmu. Aku bagikan semua kegiatan positifku di media sosial agar dia tau aku juga punya kegiatan dan concern yang mirip dengannya.

Semoga Allah bisa cepat mengambil keraguanku untuk mencoba lagi mengusahakan pernikahan. Dan juga, Allah memudahkanku untuk karirku, memberikan aku rejeki kesehatan, supaya aku bisa tetap bisa membantu orang-orang di sekitarku, bahkan lebih banyak orang yang bisa aku bantu dari beragam sektor.

Aku terkadang ingin menjelaskan kepada keluargaku dan orang-orang bahwa aku sedang tahap penyembuhan. Aku tidak mengentengkan pernikahan. Aku pun mengupayakannya. Aku mencari orang yang kira-kira cocok denganku dan keluargaku. Aku tidak benar-benar hanya mementingkan karierku. Aku benar-benar berusaha dua tahun ini. Tapi ternyata kan akhirnya jawabannya tidak. Jadi aku harap, mereka pun mengerti, aku pun hancur setelah kegagalan ini, dan mencoba merapihkan kembali. Aku kecelakaan karena ini.

Orang tuaku mungkin taunya aku kecelakaan karena orang lain. Aku malam itu keluar untuk menghilangkan penat karena aku mendengar kabar usahaku gagal. Aku sampai harus solat dalam keadaan duduk selama dua bulan. Allah menghiburku dengan menjadikanku speaker tentang volunteerism di Manila. Aku memenangkan tiga kali kuis tiga hari berturut-turut di pelatihan dan mendapatkan grand doorprize. Aku tetap berusaha sebaik mungkin di duniaku. Meskipun usahaku untuk menikah berantakan.

Aku harap keluargaku memahami aku pun sudah berusaha. Aku sedang ‘bersih-bersih’ dari kegagalan ini. Untuk mengumpulkan keberanian mencoba kembali. Aku harap mereka mengerti.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren